Bahasa Indonesia VS Bahasa Isyarat
Bahasa Indonesia VS
Bahasa Isyarat
Oleh Hamim Huda, M.A
Membaca tulisan Solihin yang dimuat Lampung Post di rubrik
Humaniora Rabu, 23 September 2015
sedikit menggelitik saya. Dalam “gugatannya” beliau menyampaikan bahwa
perubahan kata dalam bahasa Indonesia yang dicontohkan kata pinjam menjadi
meminjam sangat mengganggu logika berpikir tunarungu.
Realita di atas mungkin bisa
dibenarkan karena hambatan yang dialami tunarungu akan berdampak pada
hambatan-hambatan turunan, baik kognitif,
sosial, maupun emosi. Dalam memahami sebuah bahasa/ ungkapan sangat
terkait dengan kemampuan kognitifnya. Padahal secara umum intelegensi
anak tunarungu secara potensial sama dengan anak normal, hanya saja secara
fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasanya.
Keterbatasan informasi dan kemampuan mengabstraksi anak tunarungu dapat
berpengaruh pada kemampuan inteligensinya. Akibat ketunarunguannya itu ia
memiliki hambatan proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas. Dengan
demikian perkembangan inteligensi secara fungsional terhambat.
Di sisi lain,
perkembangan kognitif anak tunarungu sangat dipengaruhi oleh perkembangan
bahasa, sehingga hambatan pada bahasa pada anak tunarungu akan menghambat
perkembangan inteligensinya. (Soemantri, Sutjihati.2006).
Dalam berbahasa tunarungu memang
memiliki “bahasa sendiri” yang tidak serta merta bisa dipahami oleh orang lain
yang tidak menguasai bahasa isyarat semisal SIBI (Sistem Isyarat Bahasa
Indonesia). Akan tetapi bahasa isyarat juga tidak berdiri secara mandiri karena
ia disusun sebagai kompensasi untuk menerjemahkan bahasa lisan/ tulisan.
Sehingga isyarat tersebut harus ekuivalen dengan bahasa yang digunakan oleh
orang-orang yang mendengar. (Zaenal Alimin, 2015).
Karena sifatnya kompensasi
inilah maka bahasa isyarat tidak bisa mempengaruhi bahasa lisan maupun tulisan.
Apalagi perubahan kata yang terjadi karena adanya awalan/ prefiks telah
dibakukan baik huruf maupun maknanya. Misal kata tinju jika mendapat awalan pe-
akan melahirkan dua makna yang berbeda ketika menjadi petinju dan peninju.
Mengingat SIBI, menurut hemat
saya sebagai alat kompensasi untuk menerjemahkan bukan menafsirkan maka
selayaknya ia tidak akan secara persis mampu mewakili bahasa lisan/ tulisan.
Dalam berbagai kasus penerjemahan, hal ini biasa terjadi dan itu tidak menjadi
masalah yang krusial.
Memang, dalam pendidikan
inklusif semangat yang dibawa adalah
bagaimana lingkungan sekitar mampu memahami secara wajar mereka yang
berkebutuhan khusus (misal tunarungu). Termasuk dalam berbahasa agar jurang
perbedaan antara tunarungu menjadi sempit bahkan tidak ada.
Yang menjadi pertanyaannya
sekarang adalah apakah kemudian bahasa Indonesia yang dipakai selain tunarungu
yang sudah dibakukan dan berlangsung sekian lama harus direduksi untuk
menyesuaikan dengan bahasa isyarat yang kemunculannya lebih belakang? SIBI yang dibuat oleh Pemerintah
Indonesia memang tidak sepi dari kritikan. Misal kata perjalanan yang
diterjemahkan menjadi 3 isyarat per-jalan-an. Sehingga untuk mengatakan 1 kata
harus dengan 3 gerakan isyarat. Akan tetapi ketika dihubungkan dengan kata lain
semisal “sepeda motor itu sedang dalam perjalanan ke sini”, kata “perjalanan” digunakan dengan gerakan 2
jari yang mengisyaratkan orang berjalan. Sehingga tunarungu akan menganggap
sama berjalannya antara sepeda motor dengan berjalannya manusia, bukan dengan
menggunakan roda yang berputar.
Oleh karenanya, apa yang
dipersoalkan Bapak Solihin menurut saya hal yang wajar saja. Artinya sulit
untuk diwujudkan kalau memang itu sebuah kerangka ideal yang harus ada. Yang
terpenting bagi kita adalah bagaimana kita bisa menciptakan berbagai media
sebagai kompensasi untuk membantu tunarungu agar kebutuhan khususnya bisa
terpenuhi. Wallohu A’lam. Dimuat di Laras Bahasa Harian Lampung Post 30 Januari 2016.
(Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Khusus
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Pengasuh Pesantren Inklusif
Kota Metro Lampung)
Komentar
Posting Komentar