ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN PROBLEM YANG BERKELINDAN DENGANNYA
Oleh Hamim Huda, M.A,M.Pd
Setiap
orangtua dalam keluarga tentu mendambakan kehadiran anak sebagai penerus
kelangsungan kehidupan mereka. Anak yang baik, sehat, cerdas, elok dipandang
tentu menjadi dambaan umum orangtua.
Untuk mencapai hal itu orangtua melakukan berbagai upaya. Dalam bahasa agama
Islam orangtua dituntut untuk selalu berdoa dan berupaya agar keturunan sesudahnya
adalah keturunan yang baik dan sehat jiwa maupun raganya hingga orangtua tidak
mengahawatirkannya kelak (Departemen Agama
Republik Indonesia, 2013, p. 78) dalam agama Kristen juga
diajarkan bagaimana agar mendapatkan keturunan yang baik (buah) dengan memilih
pasangan (pohon) yang baik (Samuel T. Gunawan, 2013). Pada tradisi perkawinan agama Hindu juga
diatur sedemikian rupa agar kelak pasangan mendapatkan keturunan yang baik (Pica, 2015). Pada intinya semua
orangtua berharap mempunyai keturunan yang baik dalam segala hal apapun
motifnya, baik agama maupun motif lain.
Dalam
kenyataannya, tidak semua anak lahir dengan kondisi ideal seperti harapan
orangtua. Terdapat anak yang dilahirkan memiliki keterbatasan baik segi fisik
maupun psikisnya. Keterbatasan tersebut bisa saja terjadi sejak dilahirkan
maupun setelah kelahiran karena kasus tertentu. Sehingga dalam kehidupan
selanjutnya anak membutuhkan pelayanan khusus.
Secara umum, menurut data Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, keberadaan anak berkebutuhan khusus sekitar 1,6 juta jiwa,akan tetapi baru 164 ribu yang
mendapat layanan pendidikan (Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, 2015). Namun
PBB memperkirakan bahwa paling sedikit ada 10 persen anak usia sekolah yang
memiliki kebutuhan khusus. Di Indonesia, jumlah anak usia sekolah, yaitu 5 - 14
tahun, ada sebanyak 42,8 juta jiwa. Jika mengikuti perkiraan tersebut, maka
diperkirakan ada kurang lebih 4,2 juta anak Indonesia yang berkebutuhan khusus (Harnowo,
2014).
Anak yang terlahir dengan
kondisi fisik atau mental yang berbeda dengan anak pada umumnya dalam konteks
kekinian diistilahkan dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) yang keberadaannya
dapat mempengaruhi sikap keluarganya, terutama orangtua yang akan merasa sedih, malu, shock (Miranda,
2013) dan terkadang kurang siap menerima
keberadaannya dengan berbagai alasan. Pada gilirannya hal ini menimbulkan
berbagai reaksi. Reaksi orangtua terhadap anak berkebutuhan khusus dapat timbul
dengan berbagai sikap antara lain: menerima secara wajar, perlindungan yang
berlebihan, perasaan bersalah, bingung dan malu (Somantri, 2012, p. 90) ataupun sikap-sikap
lain yang dapat merugikan anak berkebutuhan khusus. Hal ini tentu mengundang
keprihatinan karena anak yang lahir dengan kebutuhan khusus ini membutuhkan
perhatian lebih dari orangtua dan saudara-saudaranya (Setyaningrum,
2010, p. 13).
Reaksi pertama
orangtua ketika
anaknya dikatakan bermasalah
adalah tidak percaya, shock, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Tidak mudah bagi orangtua yang anaknya menyandang
ketunaan untuk mengalami
fase ini, sebelum akhirnya sampai pada tahap penerimaan
(acceptance). Ada masa orangtua merenung dan tidak mengetahui tindakan tepat apa
yang
harus
diperbuat. Tidak sedikit
orangtua yang kemudian
memilih tidak
terbuka mengenai keadaan anaknya kepada teman, tetangga
bahkan keluarga dekat
sekalipun,
kecuali pada dokter yang menangani anaknya tersebut. Kondisi akan berdampak pada semua
anggota keluarga, terutama ibu yang interaksinya lebih intens (Laraine Master Glidden, 2006), orangtua akan mengalami
stress yang tinggi dan akan menjadi lebih parah manakala layanan pendukung yang
dibutuhkan untuk mengasuh, mendidik, dan melayani mereka kurang terpenuhi (Azar
Hadadian, 2015, p. 120).
Di
Negara Amerika Serikat pada abad 20-an masyarakat memberlakukan sterilisasi
(upaya untuk tidak mempunyai keturunan) bagi mereka yang mengalami disabilitas,
sementara bila mereka sudah mengandung, maka kandungannya akan digugurkan (LaLiberte,
2011). Hal itu dilakukan karena
menurut pandangan mereka ABK tidak memiliki kemampuan yang dipersyaratkan dalam
persaingan hidup dan hanya akan menyusahkan
anggota keluarga lainnya.
Memiliki anak
berkebutuhan khusus
merupakan
beban
berat bagi orangtua baik secara fisik maupun mental. Beban tersebut membuat reaksi emosional di dalam diri orang tua.
Bahkan dapat mengakibatkan stres pada orangtua (Lopez, 2008, p. 99). Mereka yang memiliki anak berkebutuhan
khusus
dituntut untuk terbiasa
menghadapi peran yang berbeda dari sebelumnya, karena memiliki anak berkebutuhan khusus. Penerimaan
orangtua
sangat
mempengaruhi perkembangan anak-
anak yang berkebutuhan
khusus di kemudian hari.
Sikap orang
tua yang tidak
dapat menerima kenyataan bahwa memiliki anak
berkebutuhan khusus akan sangat
buruk dampaknya, karena
hal tersebut dapat membuat
anak merasa tidak diterima dan diabaikan. Akan tetapi untuk sampai
pada tingkat penerimaan orangtua membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan dipengaruhi berbagai aspek (Rupu, 2015, p. 9).
Sejatinya, terlepas dari bagaimanapun kondisi yang dialami, pada dasarnya setiap manusia
memiliki hak yang sama untuk memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.
Setiap orang berhak untuk tumbuh dan berkembang serta mendapatkan pendidikan
dalam lingkungan yang kondusif dan suportif, termasuk bagi mereka yang mengalami
keterbatasan fisik maupun mental. Hal itu merupakan salah satu misi UNESCO yaitu untuk
mempromosikan bahwa pendidikan sebagai hak asasi manusia (UNESCO, 2016),
oleh karenanya menjadi tugas semua pihak untuk menjalankannya.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, hak anak untuk memperoleh
pendidikan dijamin penuh tanpa adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang
mempunyai kelainan atau yang berkebutuhan khusus (pasal
32). Anak dengan berkebutuhan
khusus (special needs children) dapat diartikan secara sederhana sebagai
anak yang lambat (slow) atau mengalami gangguan (retarded) yang bisa
menggapai keberhasilan manakala di sekolah bisa beradaptasi sebagaimana
anak-anak pada umumnya. Hanya saja kemampuan sekolah untuk memfasilitasi
kebutuhan mereka yang justru acap kali kurang mampu memenuhi standar pelayanan
belajar mereka (Mokami M. Mwita, 2014).
Akan tetapi realita yang
terjadi tidaklah selalu demikian. individu berkebutuhan khusus ini
cenderung “disisihkan” dari lingkungannya. Penolakan terhadap mereka tidak
hanya dilakukan oleh individu lain di sekitar
tempat
tinggalnya,
namun
ada
sebagian bahkan tidak
diterima
dalam keluarganya sendiri. Beragam perlakuan pun dirasakan oleh mereka, mulai
dari penghindaran secara halus, penolakan secara langsung, sampai dengan sikap-sikap dan perlakuan yang cenderung kurang manusiawi (Praptiningrum,
2010, p. 33).
Sehingga
anak berkebutuhan khusus dalam perkembangan sosialnya seringkali menghadapi
kendala. Kendala tersebut bisa disebabkan oleh faktor internal, yaitu pada diri
anak dan keluarga ABK tersebut maupun
berasal dari eksternal atau orang-orang yang berada di luar diri dan
keluarganya. Padahal sejatinya sejak usia dua sampai enam tahun anak mulai
melaksanakan kontak sosial dengan orang-orang di luar keluarganya terutama
dengan anak-anak seusianya (Somantri, 2012, p. 42).
Interaksi anak berkebutuhan khusus
dalam keluarga menjadi modal awal bagi anak untuk bersosialisasi di luar rumah.
Sehingga bila pola interaksi yang dibangun dalam keluarga baik dan kondusif,
maka akan baik pula bagi modal anak
untuk berinteraksi di luar. Perkembangan sosial anak juga dipengaruhi oleh
proses sosialisasi di dalam keluarga. Proses sosialisasi pada anak dapat
dilihat melalui pengasuhan yang diterapkan oleh orangtua terhadap anak (Afrianingsih, 2014, p. 2).
Berbagai krisis yang dialami keluarga yang mempunyai anak
berkebutuhan khusus terjadi dari waktu ke
waktu, seperti: krisis perkembangan, krisis kepribadian/ emosi, dan krisis
realitas-sosial. Keluarga anak disabilitas biasanya mengalami tiga krisis
tersebut, namun hal ini tidak selalu sama. Beberapa krisis bisa jadi bertahan
lebih lama dari yang lain. Jika keluarga berhasil melewati satu krisis dan naik
ke krisis selanjutnya dan mencapai tahap penerimaan anak, maka proses penerimaan keluarga dapat
lebih dini untuk bisa merawat anaknya (Merrick, 2007, p. 1802).
Terdapat orangtua yang
secara sadar bereaksi dengan tepat untuk menghadapi situasi ketika mereka harus hidup dengan anak
disabilitas. Mereka adalah orangtua yang secara sadar berusaha menyesuaikan
diri dengan anak mereka. Untuk bisa mencapai tahap penerimaan dan mampu
memfasilitasi kemajuan anak serta merehabilitasi kondisinya, maka
kondisi aktual anak harus diterima dan semua permasalahan yang berkelindan pada dirinya harus diakui dan diterima (Astuti, 2014).
kondisi aktual anak harus diterima dan semua permasalahan yang berkelindan pada dirinya harus diakui dan diterima (Astuti, 2014).
Harapan
orangtua akan masa depan anaknya yang lebih baik adalah hal yang positif dan
memang seharusnya demikian (Lidanial, 2006). Keseimbangan antara harapan orangtua dan kondisi anak
harus sepadan, jika tidak maka dapat berakhir dengan kekecewaan, dan
akhirnya menyerah. Perlu
untuk membuat perubahan mendasar dalam pendekatan. Untuk tujuan ini
penting rasanya memiliki iman/ spiritualitas sebagai dasar dalam menggali potensi yang ada sebesar
apapun kondisi kekurangan anak. Pada fase ini orangtua mencari solusi masalah mereka dan cara untuk membantu kemajuan
anak. Mereka belajar untuk menghargai kekuatan batin mereka untuk berempati dengan penderitaan dan mempertimbangkan solusi alternatif. Mereka belajar
untuk memahami esensi atau hikmah dari
penderitaan dan batas dimana anak dapat berkembang menuju kemandirian. Mereka
belajar untuk menggunakan komunitas yang ada dan layanan yang dapat bermanfaat
dari mereka. Orangtua biasanya memanfaatkan bantuan dari profesional dan
terapis untuk tujuan tersebut. Keluarga
yang menerima anak berkebutuhan
khusus didefinisikan sebagai suatu
kondisi antara keseimbangan dengan pengakuan keterbatasan
anak dan usaha untuk mengimbangi keterbatasan itu. Oleh
karena itu keluarga mempunyai peranan yang besar dalam mempengaruhi
perkembangan anak (Faradina, 2016).
Anak berkebutuhan khusus
selain mempunyai hambatan yang disebabkan oleh keterbatasan dirinya, ternyata
juga mendapat tambahan keterbatasan fasilitas yang tersedia di lingkungannya
yang cenderung menyulitkan bagi dirinya. Berbagai hambatan inilah yang meniscayakan
bentuk penanganan dan layanan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka,
baik sarana umum, maupun layanan tumbuh kembang dan pendidikannya (Mahabbati,
2009, p. 75).
Di sisi lain, peran seorang ibu menjadi sangat penting karena ia memiliki andil yang besar dalam
menciptakan situasi kondusif
yang positif di rumah tangganya yang dapat mendukung pelayanan anak
berkebutuhan khusus. Suasana positif di lingkungan keluarga inilah yang dapat
menentukan keberhasilan pengasuhan anak berkebutuhan khusus (Pujaningsih, 2006, p. 7).
Dalam realitas keluarga
penerimaan anak berkebutuhan khusus nyatanya memiliki fase-fase dinamika
psikologis. Artinya keberadaannya tidak langsung serta merta diterima sebagai
sesuatu yang tidak perlu disesali atau dipermasalahkan. Menurut Kline, (2006) fase-fase tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Fase shock, (kaget)
2.
Fase ketidakpercayaan
3.
Fase penolakan
4.
Fase marah
5.
Fase bargaining (tawar-menawar)
6.
Fase depresi.
Penerimaan
orangtua tersebut akan mempengaruhi sikap pengasuhannya terhadap anaknya yang
berkebutuhan khusus. Sementara pengasuhan terdiri
dari dua dimensi perilaku yaitu directive behavior dan supportive behavior. Yang pertama
diartikan bahwa komunikasi yang dibangun antara orangtua dengan anak dilakukan
searah. Berasal dari orangtua yang akan diteruskan kepada anak, orangtua
menguraikan dan mengarahkan anak apa-apa yang harus diperbuat anak, kapan,
diamana dan berbuat apa. Sementara supportive
behavior lebih mengedepankan
partisipasi orangtua dan melibatkan diri lebih dalam, berkomunikasi dua arah di
mana orangtua mendengarkan anak,
memberikan dorongan, membesarkan hati, memberikan teguran positif dan membantu
mengarahkan perilaku anak (Shochib, 2010, p. 13).
Pengasuhan orangtua terhadap anaknya yang berkebutuhan khusus sangat dipengaruhi oleh
penerimaannya terhadap kondisi anaknya tersebut. Asumsi dasarnya ketika
orangtua belum mampu menerima kondisi ABK dengan baik niscaya akan mengasuh
anak tersebut dengan kurang baik. Akan tetapi apakah kemudian ketika penerimaan
orangtua sudah baik akan berbanding lurus dengan pengasuhannya. Tentu hal ini
perlu dibuktikan dengan sebuah penelitian.
Kasus
yang pernah penulis alami ketika mendidik anak berkebutuhan khusus di Sekolah
Luar Biasa Negeri Metro Lampung terkait dengan penerimaan orangtua terhadap ABK
ini adalah adanya kecenderungan merasa malu dan bersalah yang menimbulkan
reaksi abai terhadap pengasuhan dan
pembimbingan bagi mereka. Akan tetapi anggapan tersebut belum sepenuhnya benar
tanpa didukung dengan kajian yang mendalam. Penelitian ini merupakan upaya
untuk melihat secara komprehensif sikap penerimaan orangtua serta pengasuhan
terhadap anak berkebutuhan khusus. Andaikan asumsi tersebut benar, tentu hal itu tidak boleh
dibiarkan berlarut-larut karena bisa merugikan anak itu sendiri. Di sisi lain
sikap dan tindakan orangtua tersebut tentu tidak bisa dibenarkan.
Dalam hal ini perlu
diupayakan agar orangtua mempunyai pemahaman yang cukup tentang hakikat anak
berkebutuhan khusus dan cara pelayanannya. Sedangkan bentuk dari upaya itu
diantaranya dengan memberikan bimbingan ataupun pelatihan untuk melatih mereka agar penerimaan dan pengasuhannya
menjadi lebih baik. Pelatihan juga menjadi penting karena kenyataan di lapangan
orangtua tidak perneh mendapat asupan ilmu tentang anak berkebutuhan khusus,
oleh karenanya acapkali terjadi penanganan anak yang cenderung diametral antara
guru di sekolah dengan orangtua di rumah.
Bila hal ini terjadi,
sejatinya tidak hanya anak yang menanggung kerugian, tetapi orangtua dan pihak
sekolah juga menerima dampaknya. Dampak bagi orangtua adalah perkembangan
anaknya selama belajar di sekolah tidak optimal bila disejajarkan dengan
rentang waktu yang digunakan, artinya sejatinya anak bisa mendapatkan semacam
percepatan bila terjadi persesuaian layanan antara sekolah dan keluarga. Dan
sejatinya prestasi anak di sekolah juga dipengaruhi oleh orangtuanya (Umar, 2015).
Bagi guru hal terburuk
dampaknya adalah proses pembelajaran yang dilaksanakannya selama jenjang
pendidikan yang ditempuh anak tidak berhasil optimal. Artinya apa yang
disampaikan guru di sekolah tidak akan mendapat dukungan keluarga di sekolah,
bukan karena keluarga tidak mendukung, tetapi lebih disebabkan karena tidak ada
komunikasi yang sejalan antara keduanya. Padahal bila terjalin komunikasi yang
baik antar keduanya akan berdampak positif bagi anak (Hidayat H. S., 2013).
Alamatnya dimana ya?
BalasHapusJl.FKPPI Rejomulyo Metro Selatan Kota metro Lampung
HapusAda no telf yg bisa d hubungi.. .
BalasHapusAssalamualaikum, ada lagi kerja masuk boleh ga?😁
BalasHapus